Syahadat Laa Ilaha Illallah mengandung dua rukun. Pertama, an-Nafyu dan kedua al-Itsbat.
an-Nafyu yaitu menafikan seluruh tuhan yang ada dari kalangan makhluk. Ini dari kalimat "Laa Ilaha" (Tidak ada Tuhan).
Adapun itsbat, maksudnya menetapkan satu-satunya Tuhan yang berhak diibadahi hanyalah Allah. Ini dari kalimat "Illallah" (kecuali Allah)
Sehingga, dari kedua rukun ini dipahami bahwa makna syahadat adalah menafikan segala bentuk penyembahan dari kalangan makhluk dan menetapkan satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah -azza wajalla-
Makna ini harus dipahami dengan baik, agar kita tidak menjadikan kalimat ambigu yang dijadikan untuk menyatukan dan menerima semua agama yang berkeyakinan dengan kalimat itu sebagai representasi dari kalimat syahadat.
Misalnya, kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa." Kalimat ini merupakan kalimat yang disepakati oleh seluruh agama dan aliran kepercayaan yang diterima di Indonesia. Secara histori, kalimat ini juga lahir dari penolakan terhadap isi piagam Jakarta yang berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Makanya, kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dikatakan sebagai wujud penerapan kalimat tauhid, Laa Ilaaha Illallah. Sebab kalimat syahadat itu menafikan seluruh tuhan yang diyakini oleh agama lain.
Disebutkan dalam Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_organisasi_penghayat_kepercayaan_Indonesia), ada sejumlah badan hukum serta paguyuban tak resmi aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari agama asli Nusantara dan sekumpulan kelompok baru yang menggabungkan beberapa keyakinan dalam satu kelompok (sinkretis) dan universal. Sekitar 68 jumlahnya. Makanya, bagaimana mungkin ini disebut sebagai bntuk penerapan syahadat Laa Ilaaha Illallah?
Mari kita kembali memuraja'ah pelajaran Tauhid.
Oleh : Ustadz Abu Usaid Al-Munawy وفقه الله
Tanggal : 13 Februari 2024