Meluruskan kesalahpahaman tentang surat An-Nisa': 115 dan ayat lain yang semakna.
Oleh Abu Sulaiman Oryza bin Ismed Asy-Syamsuari وفقه الله
Pertanyaan:
Apakah surat An-Nisa': 115 menunjukkan bahwa setiap pelaku syirik akbar yang jahil (tidak tahu hukum) diberikan udzur, sampai dia mengetahui mana yang salah dan mana yang benar? Yang dimaksud adalah ayat berikut:
{وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء : 115]
Dan barangsiapa yang menyelisihi Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dan apa yang dia pilih, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Dan ayat lain yang semakna.
Jawab:
Pendalilan seperti itu tidak benar, berikut penjelasannya (sebenarnya masalah ini dapat diterangkan dengan ringkas, tapi di sini saya ingin teman-teman membaca perkataan-perkataan para ulama dalam tema ini) :
1. Orang kafir ada 2 macam:
1). Orang kafir yang mengetahui kebenaran, kemudian dia selisihi. Ini yang disebutkan dalam surat An-Nisa': 115. Ibnul Qayyim berkata tentang mereka, ketika beliau menerangkan tingkatan mukallaf ke 16, tentang para tokoh kekufuran dan para dainya dalam “Thariqul Hijratain”, “Dan beratnya kekufuran mereka karena sebab 'inad (keras kepala), dan sesat secara sengaja diatas pengetahuan, seperti kekafiran orang yang qalbunya bersaksi bahwa Rasul benar, karena apa yang dia lihat berupa tanda-tanda kebenarannya, dan dia kufur secara keras kepala dan aniaya, seperti kekufuran kaum Tsamud, Fir'aun, dan orang-orang yahudi yang mengenali Rasulullah صلى الله وسلم sebagaimana mereka menganal anak-anak mereka, dan kekufuran Abu Jahl, Umayyah bin Ash-Shalt, dan orang-orang yang semisal mereka”.
2). Orang kafir yang tidak mengetahui kebenaran, dan mengira diri mereka benar. Orang-orang kafir jenis ini yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim رحمه الله pada tingkatan ke 17 dalam kitabnya “Thariqul hijratain”,
“Tingkatan ke 17, tingkatan para muqallidin (orang-orang yang bertaqlid; ikut-ikutan), yaitu orang-orang kafir yang jahil (bodoh), para pengikut mereka, dan para “keledai” mereka, yang mana mereka adalah para pengikut orang-orang kafir, mereka mngatakan: “Kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan merekalah teladan kami...” sampai perkataan beliau, “Dan islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepadanya semata tiada sekutu baginya, dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti apa yang beliau bawa. Maka selama seorang hamba belum melaksanakannya, maka dia bukan seorang muslim, kalaupun dia bukan orang kafir mu'anid (yang melanggar setelah tahu), maka dia kafir yang jahil (bodoh; tidak tahu). Maka maksud dari tingkatan ini adalah mereka itu orang-orang kafir yang jahil (bodoh) yang tidak mu'anid (melanggar setelah tahu), dan tidak 'inadnya mereka, tidaklah mengeluarkan mereka dari keadaan mereka sebagai orang-orang kafir. Karena sesungguhnya orang kafir itu adalah orang yang mengingkari keesaan Allah dan mendustakan rasul-Nya, adakalanya karena karena 'inad (melanggar setelah tahu) dan adakalanya karena jahil (kebodohan; ketidaktahuan) dan mengikuti orang-orang yang melanggar setelah tahu. Maka orang seperti ini meskipun ujungnya dia bukan orang yang melanggar setelah tahu, tapi dia mengikuti orang-orang yang melanggar setelah tahu.”
➡️ Perhatian,
Perkataan Ibnul Qayyim رحمه الله, “Karena sesungguhnya orang kafir itu adalah orang yang mengingkari keesaan Allah dan mendustakan rasul-Nya”, bukan berarti Ibnul Qayyim رحمه الله membatasi kekufuran hanya pada “mengingkari” dan “mendustakan”, akan tetapi maksud dari “mengingkari keesaan Allah” dan “mendustakan Rasul” di sini umum, mencakup segala bentuk kekufuran dan kesyirikan akbar yang nyata yang menafikan tauhid dan keimanan kepada Rasul. Perhatikanlah perkataan Ibnul Qayyim رحمه الله diatas ketika beliau mendefinisikan islam, karena kekufuran adalah lawannya. Apalagi jika anda membaca perkataan beliau setelahnya, “Maka selama seorang hamba belum melaksanakannya, maka dia bukan seorang muslim, kalaupun dia bukan orang kafir mu'anid (yang melanggar setelah tahu), maka dia kafir yang jahil (bodoh; tidak tahu).”
➡️ Dalam perkara adzab dan hukuman, orang-orang kafir jahil dan muqallidin ini terbagi 2 lagi, Al-'Allamah Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan dalam kitab yang sama,
“Ya, mestilah dalam konteks ini ada perincian yang menghilangkan kesamaran, yaitu perbedaan antara muqallid (orang yang ikut-ikutan) yang mampu mendapatkan ilmu dan mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya, dan muqallid yang tidak mampu mengetahui kebenaran sedikitpun, dan kedua golongan ini ada dalam realita”
Berikut keterangan tentang kedua golongan ini :
a) Orang kafir jahil yang mampu mengetahui kebenaran namun tidak berusaha mengetahuinya, alias berpaling.
Orang-orang kafir jenis ini telah Allah terangkan dalam Al-Quran, diantaranya firman Allah تعالى,
{فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ} [الأعراف : 30]
Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan penolong (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari رحمه الله berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini,
“Dan ini termasuk keterangan paling jelas yang menunjukkan salahnya pendapat orang yang mengklaim bahwa Allah tidak mengadzab seorang pun karena maksiat yang dia lakukan, atau kesesatan yang diyakininya, kecuali jika dia melakukannya setelah dia mengetahui kebenaran tentangnya, sehingga dia melakukannya karena 'inad (melanggar setelah tahu) terhadap Rabbnya dalam perkara tersebut. Karena kalaulah seperti itu, tidak ada beda antara golongan kesesatan yang tersesat dan menganggap dirinya benar, dan golongan yang benar. Dan sungguh Allah telah membedakan nama dan hukum kedua kelompok ini di dalam ayat ini.”
Dan keterangan Ibnu Jarir Ath-Thabari رحمه الله ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir رحمه الله dalam tafsirnya.
Adapun Al-Imam Al-Baghawi رحمه الله, beliau berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa orang kafir yang mengira bahwa dia dalam agamanya di atas kebenaran dan orang kafir yang mengingkari dan menyelisihi setelah mengetahui adalah sama”
Dan Allah berfirman,
{قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104) أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (105) ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (106)} [الكهف : 103-106]
( 103 ) Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"
( 104 ) Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
( 105 ) Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
( 106 ) Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat-ayat di atas, “Dan mereka mengira, bahwa mereka dengan perbuatan mereka itu mentaati Allah, dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan apa yang Allah perintahkan pada para hambanya. Dan ini termasuk dalil paling jelas atas salahnya pendapat orang yang mengklaim bahwasanya tidaklah kafir seorangpun kepada Allah kecuali jika dia bermaksud kepada kekufuran setelah dia mengetahui keesaan Allah, dan yang demikian itu karena Allah تعالى ذكره telah mengabarkan tentang mereka yang Dia sifati sifat mereka dalam ayat ini, bahwa usaha mereka yang telah mereka usahakan di dunia telah hilang sirna, padahal sungguh mereka dulu mengira bahwasanya mereka telah berbuat baik dalam perbuatan mereka tersebut, dan Allah mengabarkan tentang mereka bahwasanya mereka itu lah orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka. Kalaulah yang benar itu sebagaimana yang dikatakan orang-orang yang mengklaim bahwasanya “tidaklah kafir kepada Allah seorangpun kecuali jika dia mengetahui”, tentu semestinya orang-orang ini mendapatkan pahala dan balasan kebaikan atas amalan mereka yang Allah kabarkan bahwa mereka mengira bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya. Akan tetapi yang benar bukanlah sebagaimana yang mereka katakan, Allah telah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir kepada Allah, dan amalan-amalan mereka terhapus”.
Al-'Allamah Ibnul Qayyim رحمه الله berkata dalam “Thariqul Hijratain”, “Adapun orang yang mampu dan berpaling, dia adalah orang yang menyia-nyiakan dan meninggalkan kewajiban atasnya, maka tidak ada udzur baginya di sisi Allah”
Syaikh Muhammad bun Abdil Wahhab رحمه الله berkata dalam “Kasyfusy Syubuhat”,
“Maka jika anda memahami apa yang saya katakan kepada anda dengan pengetahuan qalbu, dan anda mengetahui kesyirikan terhadap Allah yang Allah firmankan tentangnya,
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ } [النساء: 48]
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan anda mengetahui kebodohan yang sebagian besar manusia berada di dalamnya, hal tersebut akan memberimu dua faedah:
Pertama, Bergembira dengan karunia Allah تعالى :
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ} [يونس : 58]
Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". Dan juga memberimu faedah berupa rasa takut yang besar, karena jika anda mengetahui bahwa seseorang menjadi kafir karena suatu kalimat yang dia ucapkan dengan lisannya, dan terkadang dia mengatakannya karena dia jahil (bodoh; tidak tahu hukumnya) kemudian dia tidak diudzur karena kebodohannya, dan terkadang dia mengatakannya karena mengira bahwa perkataan tersebut mendekatkannya kepada Allah sebagaimana persangkaan orang-orang musyrikun”.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh حفظه الله menerangkan dalam “Syarh Kasyfusy Syubuhat”, “ Penulis رحمه الله berkata ( dan terkadang dia mengatakannya karena dia jahil (bodoh; tidak tahu hukumnya) kemudian dia tidak diudzur karena kebodohannya) karena dia berpaling padahal dia mampu mengetahui, dia berpaling padahal hujjah dekat dengannya, maka kejahilannya bukan karena samarnya kebenaran atau karena tidak ada yang memperingatkan, semata- mata kebodohannya karena berpaling. Maka kalau begitu, disini kita perhatikan ada perbedaan antara kebodohan yang disebabkan tidak adanya orang yang memperingatkan dengan kebenaran, dan kebodohan yang sebabnya karena berpaling. Adapun kebodohan yang terjadi karena tidak adanya orang yang memperingatkan, maka kebodohan ini menjadi udzur dalam hukum akhirat sampai datang orang yang menegakkan hujjah, tetapi tidak menjadi udzur dalam hukum-hukum dunia”.
Yakni di dunia statusnya tetap musyrik kafir, karena itulah yang ada padanya, dan akan datang penjelasannya إن شاء الله.
Orang-orang kafir dan musyrikin jenis ini berhak diadzab karena hujjah telah tegak bagi mereka dengan sampainya kerasulan nabi muhammad صلى الله عليه وسلم dan Al-Quranul karim, dan mereka mampu mengetahui hujjah tersebut jika mereka berusaha.
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله mengatakan -sebagaimana dalam Ad-Durar As-Saniyyah Fil Ajwibatin Najdiyyah-, “Dan adapun Ushuluddin (pokok-pokok agama islam) yang telah Allah terangkan dan sempurnakan dalam kitab-Nya, maka hujjah Allah adalah Al-Quran, maka barangsiapa yang sampai kepadanya Al-Quran, maka telah sampai padanya hujjah. Akan tetapi sumber masalahnya adalah, kalian tidak membedakan antara tegaknya hujjah dan paham hujjah. Karena sesungguhnya kebanyakan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq tidak memahami hujjah Allah, disertai tegaknya hujjah atas mereka, sebagaimana firman Allah تعالى :
{أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا} [الفرقان : 44]
{Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)}
Tegak dan sampainya hujjah adalah suatu perkara, dan pahamnya mereka terhadap hujjah tersebut adalah perkara lain lagi, dan mereka dikafirkan Allah karena sampainya hujjah kepada mereka, padahal mereka tidak memahaminya.”
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bun Hasan Alu Syaikh رحمه الله berkata -sebagaimana dalam “Kasyfusy Syubhatain” karya Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi رحمه الله), “Dan semestinya diketahui beda antara tegaknya hujjah dan paham hujjah, karena sesungguhnya barangsiapa yang sampai kepadanya dakwah para Rasul, maka telah tegak baginya hujjah jika dalam bentuk yang memungkinkan untuk diketahui, dan tidaklah disyaratkan dalam tegaknya hujjah dia memahaminya sebagaimana yang dipahami orang-orang yang beriman, menerima dan tunduk kepada apa yang dibawa para Rasul. Maka pahamilah hal ini maka akan tersingkap darimu banyak syubhat dalam permasalahan tegaknya hujjah, Allah berfirman:
{أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا} [الفرقان : 44]
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Dan Allah berfirman:
{خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ} [البقرة : 7]
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Selesai (perkataan Syaikh Abdullathif Alu Syaikh رحمه الله)
Saya (Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi رحمه الله) katakan, Dan makna perkataan beliau رحمه الله, “dalam bentuk yang memungkinkan untuk diketahui”, maka maknanya adalah orang tersebut bukan orang yang tidak punya akal dan tidak bisa membedakan, seperti anak kecil dan orang gila, dan bukan orang yang tidak bisa memahami perkataan dan tidak ada orang yang menerjemahkan untuknya, dan orang-orang yang semisal mereka. Maka barangsiapa yang telah sampai padanya kerasulan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan telah sampai padanya Al-Quran, maka sungguh telah tegak atasnya hujjah, Allah تعالى berfirman:
{لأنذركم به ومن بلغ} [الأنعام: ١٩]
Agar aku memperingatkan kalian dengannya (Al-Quran) dan memperingatkan orang-orang yang sampai kepada mereka Al-Quran.
Dan Allah berfirman:
{لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل } [النساء: ١٦٥]
Agar tidak ada lagi hujjah bagi manusia atas Allah setelah diutusnya para Rasul.”
b). Orang kafir dan musyrik yang tidak mampu mengetahui kebenaran.
Al-'Allamah Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan dalam “Thariqul Hijratain”, “Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan mengetahui, yang sama sekali tidak mampu mengetahui, mereka ada dua macam juga, salah satunya orang yang menginginkan petunjuk, mengedepankannya, dan mencintainya, tapi tidak mampu mendapatkannya dan tidak mampu mencarinya karwna tidak ada yang mengarahkannya, maka orang seperti hukumnya hukum ahlul fatrah dan orang yang tidak dijangkau dakwah. Yang kedua, orang yang berpaling, tidak ada keinginan terhadap kebenaran, dan tidak pernah berpikir untuk mengikuti selain apa yang dianutnya. Orang yang pertama mengatakan, “Wahai Rabbku, kalaulah saya mengetahui Engkau memiliki agama lain yang lebih baik dari apa yang saya anut, niscaya saya akan menganutnya, dan kutinggalkan apa yang saya anut, tapi saya tidak mengetahui selain apa yang saya anut, dan saya tidak mampu mengetahui selainnya, inilah akhir usahaku, dan batas pengetahuanku. Sedangkan orang yang kedua, ridha terhadap apa yang dianutnya, tidak akan mengutamakan selainnya atasnya, dan dirinya tidak mencari yang selainnya, tidak ada beda baginya antara ketidakmampuannya dan kemampuannya. Dan kedua-duanya tidak mampu. Dan orang yang kedua ini tidak bisa disamakan dengan yang pertama, karena keduanya berbeda. Yang pertama itu seperti orang yang mencari agama di masa fatrah, dan tidak mendapatkannya, sehingga dia menyimpang darinya setelah dia mencurahkan kemampuan untuk mencarinya, karena dia tidak mampu dan tidak tahu. Dan yang seperti orang yang tidak mencarinya, bahkan mati diatas kesyririkannya, walaupun jika dia mencarinya, niscaya dia juga tidak mampu mendapatkanya. Maka berbeda antara ketidakmampuan orang yang mencari dengan ketidakmampuan orang yang berpaling, maka perhatikanlah pembahasan ini.”
💡 Lalu bagaimana status orang yang beribadah kepada selain Allah
karena dia tidak mampu mengetahui kebenaran dan telah berusaha ?
➡️ Al-'Allamah Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan -diatas- mereka itu statusnya adalah orang-orang yang belum sampai kepadanya islam, atau dengan nama lain Ahlul fatrah, lalu bagaimana hukum dan status mereka di dunia?
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab رحمهم الله mengatakan dalam “Minhajut Ta'sis”, “Padahal Ibnul Qayyim رحمه الله telah menegaskan kafirnya orang-orang yang bertaqlid (ikut-ikutan) kepada para tokoh mereka dalam perkara-perkara kekufuran, apabila dia sanggup mencari dan mengetahui keberan, dan mampu untuk itu, kemudian dia berpaling dan tidak menoleh. Sedangkan orang yang tidak sanggup dan tidak mampu untuk mengetahui apa yang dibawa oleh para Rasul, maka dia menurut Ibnul Qayyim رحمه الله termasuk ahlul fatrah, yang tidak sampai kepadanya dakwah seorang rasul pun. Dan kedua jenis manusia ini tidak dihukumi muslim dan tidak masuk dalam nama muslimin, bahkan menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagian mereka, dan nanti akan datang perkataanya. Adapun kesyirikan maka sesungguhnya ia ada pada diri mereka, dan namanya mencakup mereka, dan islam apa yang masih tersisa dengan menyelisihi pondasinya dan kaidahnya yang terbesar yaitu syahadat لا إله إلا الله.”
Mufti KSA dulu Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh رحمه الله berkata -sebagaimana dalam kumpulan risalah dan fatwanya- ditanya, “Apakah Ahlul Fatrah itu dinamai sebagai orang-orang kafir atau muslimin?” Beliau menjawab, “Mereka orang-orang kafir, bukan muslimin, adapun adzabnya maka tidak ada sampai diutus kepada mereka seorang rasul”.
2. Membatasi kekufuran hanya pada orang yang tahu hukumnya kemudian melanggar adalah pemahaman seorang teolog mu'tazilah bernama Abu 'Utsman 'Amr bin Bahr Al-Kinani yang dikenal dengan nama “Al-Jahizh.”
Salah seorang imam dakwah najdiyyah dan mufti negeri Nejd di masanya yaitu Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Aba Buthain رحمه الله, menukil dalam kitabnya Al-Intishar perkataan Al-Imam Ibnu Qudamah رحمه الله, beliau berkata,
“Dan telah berkata Al-Jahizh bahwa orang yang menyelisihi agama islam jika dia telah mengamati, kemudian dia gagal mengetahui kebenaran, maka dia diberi udzur dan tidak berdosa”, sampai perkataan beliau,
“Adapun pendapat Al-Jahizh maka batil secara meyakinkan, dan merupakan kekufuran terhadap Allah ,membantah-Nya, dan Rasul-Nya; karena kita mengetahui secar pasti bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk melaksanakan islam dan mengikutinya, dan beliau mencela mereka karena mereka tetap berada di atas kekufuran, dan beliau perangi mereka, beliau bunuh orang yang baligh dari kalangan mereka. Dan kita mengetahui bahwa orang yang mu'anid (orang yang tahu kemudian melanggar) itu sedikit, dan yang banyak adalah yang ikut-ikutan: mereka mengikuti agama bapak-bapak mereka dengan ikut-ikutan, dan mereka tidak mengetahui mu'jizat Nabi صلى الله عليه وسلم dan kebenaran beliau.”
Maksudnya, kebanyakan mereka tidak beriman karena mereka “tidak mengetahui” bahwa beliau benar, dan “yang mereka ketahui” agama yang mereka anut sejak nenek moyang mereka itulah yang benar. Tapi Allah tidak mengudzur mereka karena “ketidaktahuan mereka” tersebut.
Apalagi jika kita memperhatikan firman Allah جل وعلا,
{وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ} [البقرة : 78]
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali kebohongan belaka dan mereka hanya menduga-duga.
Dari Mujahid رحمه الله: {Dan diantara mereka ada yang buta huruf} beliau mengatakan, “Orang-orang dari kalangan Yahudi, mereka tidak mengetahui isi Al-Kitab sedikitpun, dan mereka berbicara dengan dugaan, tidak dengan apa yang Allah turunkan.”
Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan, “Mereka tidak mengetahui apa yang ada dalam kitab itu.”
As-Suyuthi menafsirkan ayat ini dalam tafsir Al-Jalalain, {Dan diantara mereka} yakni: Yahudi {ada yang buta huruf,} : awam {tidak mengetahui Al Kitab}: Taurat, {kecuali} tetapi {angan-angan}: kebohongan-kebohongan yang mereka ambil dari tokoh-tokoh mereka kemudian mereka pegangi {dan tidaklah mereka}: dalam mengingkari nubuwwah Nabi dan hal- hal lain yang mereka ada-adakan {kecuali hanya menduga}: dugaan dan mereka tidak memiliki ilmu.”
Dan sudah maklum, bahwa mereka semua dikafirkan oleh Allah dan
Rasulullah صلى الله عليه وسلم, dan beliau perangi mereka semua tanpa membedakan antara yang “tahu kebenaran” dengan yang “tidak tahu kebenaran”, sebagaimana dalam perkataan Ibnu Qudamah رحمه الله, maka amatilah.
Dan ini berlaku bagi orang-orang kafir asli dan orang kafir murtad yang awalnya islam. Walaupun ayat-ayat ini turun menceritakan orang-orang kafir asli, namun siapapun yang pada dirinya terdapat sebab-sebab yang menyebabkan orang-orang kafir asli tersebut dikafirkan dan tidak diberikan udzur, maka hukumnya sama. Sebagaimana ini maklum dalam kajian ilmu ushul fiqh. Apalagi jika anda mengetahui Syaikh Abdullah Aba Buthain رحمه الله membawakan perkataan Ibnu Qudamah رحمه الله di atas dalam permasalahan orang-orang yang mengaku islam tapi beribadah kepada kubur.
والله أعلم
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين