Pemimpin atau penguasa tidak mutlak sebagai cerminan dari rakyatnya bahwa penguasa itu memiliki kemampuan dan sangat leluasa untuk 'mewarnai' rakyatnya sesuai dien penguasa tersebut
============================
Alkisah ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!” (Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin).
Banyak Orang berdalil denganya bahwa penguasa itu mutlak ceminan dari rakyatnya atau rakyat akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan keadaan rakyatnya, apabila rakyat baik maka pemimpjn juga baik apabila rakyat tidak baik maka pemimpin juga seperti rakyatnya,
Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.
Sebagai konsekuensi atas pemahaman tersebut apakah berani mengatakan kepemimpinan khulafaur rasyidin Ali bin Abi thalib رضي الله عنه adalah cerminan khawarij, dan juga apakah kepemimpinan khulafaur rasyidin Abu Bakar cerminan dari mayoritas bangsa arab yang murtad, dan membangkang pada saat itu? Begitu juga Khulafaur Rasyidin Umar dan Utsman bin affan radhiyallahu anhu, begitu juga dengan bekuasanya tartar yang kemudian masuk islam tapi menerapkan ilyasiq apakah itu cerrminan dari rusaknya mayoritas umat islam atau rakyat pada saat itu, atau ia karena rusak dan lemahnya umaro pada saat itu?
Maka telitilah dan juga telitilah keadaan masyarakat dizaman kepemimpinan Rasulullah dan juga khulafaur rasyidin apakah kehadirannya mereka sebagai pemimpin adalah karena faktor baiknya keadaan masyarakat atau manusia pada zamannya? kalau begitu keadaannya niscaya tidak ada peperagan dan penaklukkan karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. adanya peperangan dan penaklukkan, adanya akad jizyah, adanya definisi negara islam dan negara kafir yang ditetapkan oleh para ulama sudah lebih dari cukup untuk membuktikan dengan jelas dan nyata bahwa kualitas penguasa atau pemimpin tidak mutlak lahir sesuai dengan keadaannya rakyatnya, dan sekaligus membuktikan bahwa didalam islam penguasa itu memiliki kemampuan dan leluasa untuk mewarnai rakyatnya sesuai dien penguasa tersebut. ini fakta yang juga tidak terbantahkan dan telah dibuktikan oleh kepemimpinan Rasulullah dan khulafaur rasyidin. bahwa paham ini selain terbukti valid ia juga merupakan pemahaman sahabat yakni khulafaur rasyidin Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه dimana beliau juga termasuk as-sabiqun al-awwalun yang mendapatkan pujian dan keridhaan dari Allah didalam QS.At-Taubah ayat 100
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170).
Anas bin Malik rodhiallohu 'anhu menuturkan sebuah hadist:
ﻭَﻳْﻞٌ ِﻷُﻣَّﺘِﻲْ ﻣِﻦْ ﻋُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﺴُّﻮْﺀِ ﻳَِﺘَّﺨِﺬُﻭْﻥَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻳَﺒِﻴْﻌُﻮْﻧَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀِ ﺯَﻣَﺎﻧِﻬِﻢْ ﺭِﺑْﺤﺎً ِﻟﻸَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻻَ ﺃَﺭْﺑَﺢَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗِﺠَﺎﺭَﺗَﻬُﻢْ
"Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama suu’ mereka menjadikan 'ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Alloh tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim).
ulama itu seperti perahu di lautan, apabila tenggelam maka tenggelam juga semua yang ada di dalam perahu tersebut.
Bahwa para pemimpin itu ada tiga jenis: umara (pemimpin negara), ulama (para ahli ilmu agama), ‘ubbad (para ahli ibadah). Mereka inilah yang ditakutkan akan mudah menyesatkan orang lain karena mereka adalah orang-orang yang diikuti. Para umara, mereka memiliki kekuasaan dan pelaksanaan. Para ulama mereka memiliki penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan para ahli Ibadah mereka kadang menipu dengan keadaan mereka. Merekalah orang-orang yang ditaati dan jadi panutan, maka pengaruh mereka sungguh amat mengkhawatirkan. Karena jika mereka sesat maka mereka akan menyesatkan kebanyakan manusia. Namun, jika mereka mendapat petunjuk pada kebaikan, maka banyak orang akan ikut mendapat petunjuk (Lihat kitab Al Qaul Al Mufid, karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
Hal ini juga diperkuat oleh Firman Allah Ta'ala
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا﴿٦٦﴾وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا﴿٦٧﴾رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andaikata kami dulu taat kepada Allâh dan taat (pula) kepada Rasul.’
Dan mereka berkata, ‘Ya Rabb kami! Sesungguhnya kami dulu telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Wahai Rabb kami! Timpakanlah kepada mereka dua kali lipat dari adzab dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.’ [Al-Ahzab/33:66-68]
Ayat diatas memberitahukan kepada kita bahwa didunia ini ada umaro dan ulama jahat yang menipu lagi menyesatkan
Dalam Hadits disebutkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah (berkuasanya) para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Darimi. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Shahihah: 4/109, no. 1582, dalam Shahih al-Jami’, no. 1773 dan 2316)
Bahkan fitnah yang ditimbulkan karena pemimpin yang menyesatkan lebih menakutkan daripada fitnah Dajjal.
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ شَيْءٍ أَخْوَفُ عَلَى أُمَّتِكَ مِنْ الدَّجَّالِ قَالَ الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Wahai Rasulullah, apa yang lebih engkau takutkan atas umatmu daripada Dajjal. Beliau menjawab, “Para pemimpin yang mudhillin (menyesatkan)”.” (HR. Ahmad).
Dai–dai yang mengajak ke pintu Jahanam
حدثنا محمد بن المثنَّى: حدثنا الوليد بن مسلم: حدثنا ابن جابر: حدثني بسر بن عبيد الله الحضرمي: أنه سمع أبا إدريس الخولاني: أنه سمع حذيفة بن اليمان يقول:
كان الناسُ يَسأَلونَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الخيرِ ، وكنتُ أسأَلُه عنِ الشرِّ ، مَخافَةَ أن يُدرِكَني ، فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ، إنا كنا في جاهليةٍ وشرٍّ ، فجاءنا اللهُ بهذا الخيرِ ، فهل بعدَ هذا الخيرِ من شرٍّ ؟ قال : ( نعمْ ) . قلتُ : وهل بعدَ ذلك الشرِّ من خيرٍ ؟ قال : ( نعمْ ، وفيه دَخَنٌ ) . قلتُ : وما دَخَنُه ؟ قال : ( قومٌ يَهْدُونَ بغيرِ هَديِي ، تَعرِفُ منهم وتُنكِرُ ) . قلتُ : فهل بعدَ ذلك الخيرِ من شرٍّ ؟ قال : ( نعمْ ، دُعاةٌ على أبوابِ جَهَنَّمَ ، مَن أجابهم إليها قَذَفوه فيها ) . قلتُ : يا رسولَ اللهِ صِفْهم لنا ، قال : ( هم من جِلدَتِنا ، ويتكَلَّمونَ بألسِنَتِنا ) . قلتُ : فما تأمُرُني إن أدرَكني ذلك ؟ قال : ( تَلزَمُ جماعةَ المسلمينَ وإمامَهم ) . قلتُ : فإن لم يكن لهم جماعةٌ ولا إمامٌ ؟ قال : ( فاعتَزِلْ تلك الفِرَقَ كلَّها ، ولو أن تَعَضَّ بأصلِ شجرةٍ ، حتى يُدرِكَك الموتُ وأنت على ذلك ) .
الراوي: حذيفة بن اليمان المحدث: البخاري – المصدر: صحيح البخاري – الصفحة أو الرقم: 7084
Telah berkata kepada kami Muhammad bin Mutsanna, telah berkata kepada kami Walid bin Muslim, telah berkata kepada kami Jabbar, telah berkata kepadaku Bisr bin Ubaidillah al Hadhrami bahwasanya ia mendengar Abu Idris al Khaulany, ia mendengar Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu ‘Anhu berkata:
Manusia bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah Ta’ala mendatangkan kebaikan (Islam) ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada “dakhanun” (asap). Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”.
Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai–dai yang mengajak ke pintu Jahannam. Barang siapa yang mengijabahinya (mengikutinya), maka akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam). Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikanlah ciri-ciri mereka kepada kami. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbicara dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah (kelompok) itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”.
(HR. Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247. Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399).
Berdasarkan Dalil-Dalil di atas dan juga fakta sejarah maka jelaslah bahwa Keburukan, kezhaliman, kerusakan, maupun kebaikan suatu negeri dan masyarakatnya erat kaitannya dengan keadaan Umaro dan Ulamanya.
Mengenai as-sabiqun al-awwalun Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah: 100).
Bahwasanya Allah Ta’ala memberikan pujian kepada orang yang mengikuti para sahabat, Apabila para Sahabat menyatakan sebuah pendapat kemudian diikuti oleh pengikutnya sebelum ia tahu kebenarannya, maka ia (dianggap) sebagai pengikut mereka, sehingga wajib mendapatkan pujian atas sikapnya dan berhak mendapatkan keridhaan Allah.(I’lamul Muwqqi’iin, IV/94-95 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah).
Dan mengenai Khulafaur Rasyidin yaitu Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, kelak dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa–ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap ajaran yang baru dalam agama Islam adalah termasuk perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i, derajat : hasan shahih, Shahih Sunan Ibnu Majah )
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat perintah ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan khulfaur rasyidin. Yang dimaksud sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh dengan keyakinan, perkataan, dan perbuatan Nabi dan khulfaur rasyidin. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu para ulama salaf di masa silam tidak menamakan sunnah kecuali mencakup seluruh perkara tadi” (lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Imam Asy-Syathiby rahimahullah berkata: “Rasulullah menggandengkan -sebagaimana engkau lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah mereka. Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah tersebut, tidak termasuk sunnah sama sekali. Karena sesungguhnya sunnah yang dilakukan oleh para sahabat tidak lepas dari dua alternatif, bisa jadi mereka hanya semata-mata mengikuti sunnah Rasulullah, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau, baik secara global maupun terperinci, menurut satu sisi yang tidak dipahami semisalnya oleh selain mereka, tidak lebih dari itu.”[Al-I’tisham (1/104)]
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
.
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy.]
Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:
“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [Syarh Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah 1/174 no. 315]
Beliau rahimahullah juga berkata:
“Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [Imam al-Aajury dalam as-Syariah I/445 no. 127, dishahihkan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar Alaam an-Nubalaa VII/120.]
Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:
.
“Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah an Syariatil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109.]
Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:
“Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [Syarah Ushul Itiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh al-Laalikaaiy I/175-185 no. 317]
Fudhail bin ‘Iyad rahimahullah berkata:
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk (Sunnah), tidak membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan tersebut. Jauhkan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.” [Lihat al-Itisham I/112]
Tanggal : 23 Maret 2019
Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=584292512051590&id=100014125383943&mibextid=Nif5oz